Sejarah membuktikan, penjajah Belanda datang
ke Indonesia bukan hanya mengeksploitasi kekayaan alam. Tapi, mereka juga
berharap bisa menghilangkan pengaruh Islam terhadap bangsa Indonesia. Bersama
para orientalisnya, kaum kolonial Belanda berusaha memperkecil arti dan peran
Islam dalam sejarah Melayu-Indonesia. Dalam bukunya Nederland en de Islam
(hlm. 1), tokoh orientalis Belanda, Christian Snouck Hurgronje mengatakan bahwa
Islam baru masuk ke kepulauan Indonesia pada abad XIII setelah mencapai
evolusinya yang lengkap. Snouck Hurgronje juga menyatakan dalam bukunya, Arabie
en Oost Indie (hlm. 22), bahwa orang Islam di Indonesia sebenarnya hanya
tampaknya saja memeluk Islam dan hanya di permukaan kehidupan mereka ditutupi
agama ini. Ibarat berselimutkan kain dengan lubang-lubang besar, tampak
keaslian sebenarnya, yang bukan Islam. Orientalis lain, J.C. Van Leur, bahkan
menyimpulkan bahwa Islam tidak membawa perubahan mendasar sedikit pun di
kepulauan Melayu-Indonesia dan tidak juga perabadan yang lebih luhur daripada
peradaban yang sudah ada.
Benarkah Islam hanya merupakan penampilan
luar dan tidak membawa perubahan mendasar bagi masyarakat Melayu-Indonesia?
Snouck Hurgronje datang ke Indonesia pada 1889 di saat umat Islam Indonesia
memasuki masa transisi. Akhir abad XIX mulai terjadi kebangkitan agama di
kalangan umat Islam. Ketakutan Pemerintah Hindia Belanda terhadap kebangkitan
Islam melatarbelakangi pengangkatan Snouck Hurgronje sebagai penasihat
pemerintah untuk urusan pribumi dan Islam. Proses Islamisasi di kepulauan
Melayu-Indonesia, menurut pakar sejarah Melayu, Syed Muhammad Naquib Al-Attas,
mengalami kemunduruan sejak datangnya kolonialisme Barat. Sebagaimana
orientalis lainnya, Snouck Hurgronje menilai umat Islam dari praktek-praktek
mereka pada saat kemunduran itu, sehingga memberikan pemahaman keliru tentang
Islam.
Di mana Islam?
Penggambaran kurang tepat tentang peradaban
Islam dalam sejarah Indonesia juga bisa dijumpai pada sejumlah penulis Kristen,
seperti T.B. Simatupang dan Eka Darmaputera. Dalam bukunya, Iman Kristen dan
Pancasila (hlm. 11), ia menjelaskan, bahwa Indonesia tidak pernah mengalami
sebuah kerajaan Islam yang mencakup seluruh Indonesia, seperti di zaman Mogul
di India. Menurutnya, Kerajaan Sriwijaya yang Budha dan Majapahit yang Hindu,
pernah mempersatukan sebagian besar wilayah Nusantara. "Tetapi, tidak
pernah ada jaman Islam dalam arti kerajaan yang mencakup seluruh negeri,"
tulis TB Simatupang. Begitulah, lanjutnya, dalam arti tertentu, yang menggantikan
Majapahit adalah pemerintahan kolonial Belanda dan yang menggantikan yang
terakhir tersebut adalah pemerintahan Republik Indonesia.
Tokoh Kristen lain, Eka Darmaputera, dalam
bukunya, Pancasila: Identitas dan Modernitas (1997:41), juga membuat paparan
yang kurang tepat tentang sejarah peradaban Islam di Indonesia. Ia mengakui,
dibandingkan dengan kebudayaan asli dan Hindu, Islam jauh lebih berhasil
menanamkan pengaruhnya pada seluruh lapisan masyarakat. Ia berhasil mencapai
rakyat biasa dan menjadi agama dari mayoritas penduduk Indonesia. Namun
demikian, ia tidak menciptakan suatu peradaban baru. Sebaliknya, dalam arti
tertentu, ia harus menyesuaikan diri dengan peradaban yang telah ada, tulis Eka
Darmaputera. Bahkan, untuk mendukung asumsinya tersebut, Eka menunjuk contoh
Sunan Kalijaga, yang meskipun sempat memeluk agama Islam, tetapi tetap menjadi
Jawa, dan tidak menjadi Hindu atau Islam. Eka menulis, "Ia adalah seorang
Hindu, bangsawan Majapahit, tetapi toh bukan itu, sebab Majapahit adalah masa
lampaunya. Ia adalah seorang Islam, menjadi Islam di pusat peradaban Islam yang
tengah menyingsing pada waktu itu, Demak. Tetapi toh tidak seluruhnya, sebab
akhirnya Demak pun ia tinggalkan, bahkan ia memainkan peranan yang penting
dalam kekalahannya. Ia pada akhirnya adalah seorang Jawa, yang merangkul semua,
tanpa pernah sepenuhnya menjadi salah satu. Di Mataram lah –sebuah Kerajaan
Jawa, yang tidak sepenuhnya Hindu maupun Islam— ia memainkan peranannya yang
terpenting di dalam mengislamkan Jawa." (hlm. 34).
Tentu saja, cerita Eka Darmaputera tentang
Sunan Kalijaga tersebut sulit dilacak kebenarannya. K.H. Saifuddin Zuhri, tokoh
NU, dalam salah satu tulisannya tentang Wali Songo memberikan gambaran tentang
Sunan Kalijaga yang jauh berbeda dengan gambaran Eka Darmaputera. Sunan
Kalijaga adalah seorang yang sangat aktif berdakwah, yang seluruh hidupnya di
abdikan hanya untuk menyiarkan Islam. (Lihat, KH Saifuddin Zuhri, Sejarah
Kebangkitan dan Perkembangan Islam di Indonesia, 1981:310-329). Sebuah
kisah populer di Jawa –yang banyak dirujuk oleh para sejarawan dalam melihat
sejarah Islam, Majapahit, dan para wali adalah Serat Darmagandul.
Buku Darmagandul ini penuh dengan
caci maki terhadap Islam dan Wali Songo. Di sisi lain, pengarang Darmagandul
(yang tetap misterius sampai sekarang) sejak awal memiliki itikad untuk
menampilkan agama Kristen (Nasrani) lebih memiliki keunggulan dibandingkan
Islam. Buku ini juga secara sistematis menanamkan kebencian orang Jawa terhadap
Islam. Misalnya ditulis: "Wong Djawa ganti agama, akeh tinggal agama
Islam bendjing, aganti agama kawruh, ....(Artinya: Orang Jawa ganti agama,
besok banyak yang meninggalkan Islam, berganti (menganut) agama kawruh ...).
(Lihat, Anonim. Darmagandul. Cetakan IV. (Kediri: Penerbit Tan Khoen
Swie, 1955). Juga, ungkapan Darmagandul, "Kitab Arab djaman
wektu niki, sampun mboten kanggo, resah sija adil lan kukume, ingkang kangge
mutusi prakawis, kitabe Djeng Nabi, Isa Rahullahu." (Artinya: Kitab
Arab jaman waktu ini, sudah tidak terpakai, hukumnya meresahkan dan tidak adil,
yang digunakan untuk memutusi perkara adalah kitab Kanjeng Nabi Isa Rahullah).
Cerita-cerita dalam Darmagandul yang menyudutkan Islam dan mengadu domba
antara Islam dengan Jawa ini memiliki banyak kesamaan cerita dengan Babad
Kadhiri yang diakui penulisnya ditulis atas permintaan pemerintah kolonial
Belanda.
Penulisan sejarah sangat tergantung pada
perspektif penulisnya. Simaklah sejarah Kerajaan Majapahit. Sekali-kali perlu
dipertanyakan, benarkah sejarah telah membuktikan bahwa Majapahit pernah
menguasai seluruh wilayah Nusantara? Prof. Dr. C.C. Berg melalui
tulisan-tulisannya telah mengungkapkan, bahwa wilayah Majapahit hanya meliputi
wilayah Jawa Timur, Bali, dan Madura. Masuknya wilayah-wilayah lain di
Nusantara, hanya merupakan cita-cita, dan tidak pernah masuk ke dalam wilayah
Majapahit. (Lihat, Hasan Djafar, Masa Akhir Majapahit, 2009: 47-48). Ada
juga cerita yang memposisikan Majapahit sebagai "penjajah", sehingga
muncul perlawanan dari wilayah yang ditaklukkan. Babad Soengenep,
misalnya, menceritakan bagaimana proses penaklukan Majapahit atas Soengenep
yang berdarah-darah dan bangkitnya pahlawan setempat yang bernama Jaran Panole
dalam melawan agresi militer Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada. Juga
cerita yang mendasari Perang Bubat yang merupakan kesalah an besar dalam
diplomasi Majapahit. (Terkait dengan perang Bubat lihat H. J. Van Den Berg, et
all, Dari Panggung Peristiwa Sedjarah Dunia Jilid I: India, Tiongkok, dan
Djepang, Indonesia. Cetakan II. (Jakarta ¨C Groningen: J. B.Wolters, 1952).
Islam: Jati Diri Bangsa
Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib Al-Attas
menolak keras teori para sarjana Barat yang menganggap kehadiran Islam di
wilayah Melayu-Indonesia ini tidak meninggalkan sesuatu yang berarti bagi peradaban
di wilayah ini. Ia menulis, "Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa
Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya
sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang
andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan ke hinduannya, kebudhaannya,
dan animismenya. Namun menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya
berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan
belaka." (Lihat, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan
Kebudayaan Melayu, 1990:41).
Al-Attas juga menekankan kekeliruan hasil
penelitian ilmiah Barat yang meletakkan serta mengukuhkan kedaulatan kebudayaan
dan peradaban Jawa sebagai titik tolak permulaan kesejarahan Kepulauan Melayu-Indonesia.
"Anggapan seperti inilah hingga dewasa ini masih merajalela tanpa gugatan
dalam pemikiran kesejarahan kita." (ibid, hlm. 40-41).
Al-Attas bahkan menyebutkan, kedatangan
Islam di wilayah Nusantara merupakan peristiwa paling penting dalam sejarah
kepulauan Melayu-Indonesia. M.C. Ricklefs dalam bukunya, A History of Modern
Indonesia, memulai penulisan sejarah Indonesia modern dengan kedatangan
Islam. Islam, tulisnya, membawa banyak perubahan penting dan mendasar dalam
masyarakat kepulauan Melayu-Indonesia.
Menurut Al-Attas dalam Preliminary
Statement on a General Theory of the Islamization of the Malaysia Indonesian
Archipelago, Islam datang ke kepulauan Melayu-Indonesia membawa semangat
religius yang amat intelektual dan rasionalistis, sehingga mudah masuk ke dalam
pikiran rakyat. Ini menyebabkan kebangkitan rasionalisme dan intelektualisme
yang tidak dinyatakan dalam masa-masa pra-Islam. Timbulnya rasionalisme dan
intelektualisme ini dapat dipandang sebagai semangat yang kuat yang
menggerakkan proses revolusi dalam pandangan dunia Melayu-Indonesia, dan
mengelakkannya dari dunia mitologi yang rontok. Semangat rasionalisme dan
intelektualisme ini bukan saja di kalangan istana dan keraton, bahkan juga
merebak di kalangan rakyat jelata. Banyak risalah tentang falsafah dan
metafisika khusus ditulis bagi keperluan umum. (hlm. 5-6)
Risalah-risalah yang dihasilkan oleh para
ulama Melayu-Indonesia ditulis dengan huruf Arab meski tidak selalu berbahasa
Arab. Bahasa bisa saja Jawa atau Melayu, tetapi hurufnya Arab. Tulisan semacam
itu disebut dengan tulisan Arab pegon. Menulis dengan huruf Arab telah
menjadi tradisi umat Islam di kepulauan Melayu-Indonesia jauh hari sebelum
mereka mengenal tulisan latin yang dibawa oleh kolonialis Barat.
Peristiwa penting lain yang secara langsung
digerakkan oleh proses sejarah kebudayaan Islam, menurut Al-Attas, adalah
penyebaran bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, bukan saja dalam
kesusastraan epik dan roman, akan tetapi –lebih penting— dalam pembicaraan
falsafah. Bahasa Melayu mengalami suatu perubahan revolusioner; di samping
pengayaan sebagian besar perbendaharaan kata-katanya yang berasal dari
kata-kata Arab dan Persia. Bahasa itu menjadi media utama untuk membawakan
Islam ke seluruh kepulauan sehingga pada abad XVI, selambat-lambatnya, telah
mencapai kedudukan sebagai bahasa religius dan kesusasteraan menggantikan
hegemoni bahasa Jawa. Kesusasteraan Melayu berkembang dalam periode Islam. Abad
XVI dan XVII menyaksikan berlimpahnya tulisan Melayu mengenai mistisisme
filosofis dan teologi rasional yang tidak tertandingi. Terjemahan Al-Quran yang
pertama ke dalam bahasa Melayu dengan tafsiran yang didasarkan atas tafsiran
termasyhur dari Al-Baidhawi, dan terjemahan-terjemahan, tafsiran-tafsiran dan
karya-karya asli mengenai mistisisme filosofis dan teologi rasional juga muncul
selama periode ini yang menandai kebangkitan rasionalisme dan intelektualisme
yang tidak dimanifestasikan di mana pun sebelumnya di kepulauan. (hlm. 27)
Bahasa Melayu
kemudian menjadi bahasa Islam dan berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya
kesadaran nasional. Untuk menghilangkan pengaruh Islam, sampai-sampai beberapa
sekolah di Jawa yang didirikan oleh misionaris pada awal abad XX menghindari
penggunaan bahasa Melayu sejauh mungkin. Imam Yesuit Frans van Lith, pendiri
sekolah Muntilan berpendapat, ”Dua bahasa di sekolah-sekolah dasar (yaitu
bahasa Jawa dan Belanda) adalah batasannya. Bahasa ketiga hanya mungkin bila
kedua bahasa yang lain dianggap tidak memadai. Melayu tidak pernah bisa menjadi
bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi
sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan
dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara.” Penolakan terhadap bahasa Melayu menjadi kebijakan tetap misi Yesuit di
Jawa Tengah. Salah satu alasannya, khawatir promosi bahasa Melayu akan
menyiratkan dukungan terhadap agama Islam.
Pengaruh Islam yang sangat besar dalam
sejarah Melayu-Indonesia merupakan fakta keras (hard fact) yang tidak
bisa dipungkiri. Pengaruh itulah yang selama berabad-abad dicoba dihilangkan
oleh kolonialis dan orientalis Belanda. Wajar, jika penjajah melakukan rekayasa
sejarah. Tentu, kemudian, tergantung umat Islam sendiri –apapun suku bangsanya–
apakah mau sadar atau tidak, bahwa mereka adalah MUSLIM! (Dr.Adian Husaini)