beranda

Selasa, 29 Oktober 2013

Risalah Hati Amira

Oleh : Emilia Rohmawati

Seperti biasa cuaca di kotaku ini selalu didominasi oleh rombongan air berkah dari langit. Terkadang turun sore hari bahkan tak jarang awet sampai hampir sehari penuh. Seperti tadi malam hujan turun deras dan membuatku tidur dengan pulasnya memeluk guling dan selimut. Untung saja aku masih mendengar suara Bapak pengurus masjid mengumandangkan adzan subuh yang membangunkanku pagi itu. Bapak itu bernama Iman, umurnya sudah hampir 60 tahun, punggungnya terlihat agak membungkuk. Sempat tersirat dalam benakku, “kemana kah para remaja? Sehingga Bapak tua itu yang harus mengumandangkan adzan.” Bukan bermaksud negative thinking tapi cukup sedih aku melihatrnya setiap pagi buta Bapak itu sudah menapaki kakinya di lantai masjid yang ku yakin rasanya masih begitu dingin.


 Dengan jaket coklat cukup membantu menahan suhu dingin menembus tulang, dilengkapi dengan sorban dan peci putih yang sering kulihat dipakainya setiap pergi ke masjid. Bapak tua itu membuka pintu masjid dengan perlahan setelah itu ia langsung menyiapkan pengeras suara untuk mengumandangkan adzan, semua itu dilakukannya seorang diri. Aku selalu berdo’a semoga Bapak itu selalu diberikan kesehatan oleh Allah agar setiap subuh masih ada yang membangunkanku dengan kumandang adzan itu.

Waktu menunjukkan pukul 07.00, ku pergi keluar rumah dengan penuh semangat menuntut ilmu. Tujuan utamaku setiap pagi kemana lagi kalau bukan menuju kampus tercinta. Walau agak sedikit malas karena mata kuliah pertama adalah mata kuliah yang  membuat otakku ngebul ditambah dosennya juga kurang menyenangkan, hemmmm tapi aku harus tetap hadir apapun alasannya. 1 ½ jam waktu pembelajaran, cukup membuatku bosan dan tak sabar ingin cepat-cepat keluar dari kelas. waaaaa!!! Akhirnya sampai juga pada waktu yang ditunggu-tunggu, time is over dan aku dapat bernafas lega di luar kelas. Aku sempat ke kantin untuk mengisi perut yang masih kosong karna di rumah  ibu belum sempat masak. Aku dibekali uang saku yang bisa dibilang mencukupi bahkan lebih, aku bisa memilih dan membeli makanan apa saja yang aku mau. Sampai akhirnya aku memiih satu makanan dan segera menghabiskannya dengan lahap. Perut sudah terisi penuh dan sekarang siap untuk menerima beberapa mata kuliah lain yang tentunya materi serta dosennya lebih menyenangkan untukku.
Pukul 16.00 semua mata kuliah sudah selesai aku memutuskan untuk langsung pulang dan tak berdiam di kampus seperti biasanya, rasa letih dan kantuk sudah sangat mengganggu. Sesampainya di depan rumah ku lihat Pak Iman sedang dimarahi oleh seorang ibu, yang tak lain ibu itu adalah isteri ketua RT di komplek tempat tinggalku. Pak Iman merundukkan kepalanya sambil mendengar ocehan bu RT. Aku memang tak tau apa masalahnya sehingga Pak Iman diperlakukan seperti itu, tapi rasa penasaran mengalahkan rasa letih dan kantuk yang sebelumnya hadir dan aku bermaksud untuk menanyakannya lagsung pada Pak Iman. Ku tunggu bu RT angkat kaki dari masjid, lalu segera ku menghampiri Pak Iman.”Assalamu’alaikum Pak?” sapaku. “Wa’alaikumsalam neng” jawab Pak Iman. Kesedihan begitu terlihat pada wajahnya, tanpa basa basi langsung ku tanya masalah intinya. “Bapaak, mohon maaf sebelumnya tadi saya melihat bapak dengan bu RT dan nampaknya ada sesuatu yang membuat beliau marah ke bapak, kalau saya boleh tau apa penyebab kemarahan beliau pak?. Pak Iman tampak menghela nafas panjang untuk memulai penjelasannya padaku. “Begini neng, bu RT sangat marah karena kinerja bapak yang akhir-akhir ini menurun, lantai masjid yang terlihat masih kotor, sampah yang terlambat diangkut, tapi semua itu terjadi bukan karna kesengajaan bapak neng sungguh, bapak sedang tidak enak badan 1 minggu terakhir ini.” Papar Pak Iman.  

  Memang ku perhatikan wajah pak Iman sedikit memucat, sesekali ia terbatuk saat bercerita padaku hemmm…menambah kesedihan hati melihatnya “Oh begitu pak, apa bapak sudah bilang kalau bapak sedang sakit? Kenapa bapak tidak minta libur dan menyuruh orang lain menggantikan pekerjaan bapak ini?” .”Bapak sudah menjelaskannya neng, tapi alhamdulillah bu RT masih menyimpan kepercayaan besar pada bapak sehingga ibu enggan menggantikan bapak dengan orang lain untuk menyelesaikan semua pekerjaan ini.” tambanya.  “Tapi kasihan bapak kalau begini….kalau begitu biar saya coba sampaikan ke bu RT ya pa, siapa tau beliau mau berubah pikiran.” “Jangan neng, aduh jangan biar saja ini sudah kewajiban bapak, selagi bapak masih bisa menyelesaikan tugas-tugas bapak, akan bapak usahakan neng.” Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi karna ini permintaan Pak Iman. “yasudah kalau begitu ingin bapak, saya ga akan ngomong sama bu RT, semoga bapak cepat sembuh ya supaya bisa kembali menyelesaikan semua pekerjaan bapak dengan lebih baik lagi.” 

Setelah keajdian itu aku lebih sering berdialog dengan Pak Iman yang bersikap ramah dan bersahaja, hal itu juga membuatku lebih mengenal sosok Pak Iman, seorang Bapak yang kaya dengan kesederhanaan dan ketulusannya. Betapa tidak, dihari tua yang seharusnya ia nikmati bersama keluarga tidak ia dapati, tinggal jauh dari keluarga menjadi pilihan karna kesalahan besar yang ia lakukan di masa mudanya dulu, berharap tak ingin mengecawakan orangtua dan sanak saudaranya ia pergi merantau memulai hidup baru yang lebih baik. 

Di tengah perantauan ia bertemu dengan seorang wanita yang menambah semangatnya untuk menjalani hari demi hari di kota orang, wanita itulah yang kini menjadi isterinya, wanita yang selalu setia mendampingi Pak Iman melewati beratnya beban kehidupan. Sudah hampir 40 tahun pernikahan mereka belum juga diberikan buah hati oleh Allah namun mereka tetap bersabar dan ikhlas menerima segala pemberian Allah. Rasa syukur Pak Iman atas segala kenikmatan Islam dan ketenangan hidup ia bayar dengan mengabdi pada masyarakat dengan mengurus masjid dekat rumahku. Pekerjaan yang sudah sangat jarang diminati orang-orang di zaman seperti ini karna penghasilannya yang takkan mencukupi kebutuhan hidup.  Setiap hari ia lakukan pekerjaan dengan teliti dan penuh tanggung jawab, namun ternyata masih saja ada orang yang kurang menghargai usaha Pak Iman. Tapi tetap ia lakukan semua pekerjaan itu tak perduli dengan cemoohan orang diluar sana, ia tetap menjaga dan mengurusi rumah Allah dengan ikhlas dan sabar, ia hanya mengharapkan imbalan pahala dan indahnya Syurga dari Allah. Istrinya yang 10 tahun lebih muda masih mau membantu perekonomian keluarga dengan menjajakan gorengan di depan rumah, tak banyak yang dihasilkan namun cukup membantu memenuhi kebutuhan mereka berdua. 
            Dengan mengenal sosok Pak Iman aku jadi merasa sangat malu pada Allah, karena di umurku yang masih muda ini, aku banyak melakukan kegiatan yang kurang bermanfaat untuk  diriku apalagi untuk orang disekitarku, aku hanya mengandalkan kedua orangtuaku untuk memenuhi segala keinginanku tanpa memikirkan susahnya usaha mereka membahagiakannu. Aku sungguh sangat iri meihat Pak Iman yang bisa bangkit dari keterpurukannya di masa muda, sehingga sekarang ia menjadi sosok Bapak yang penuh inspirasi buatku. Tak perduli latar belakanya, hitam-putih masa lalunya yang kulihat sekarang adalah ketulusan beliau menjalani hidup yang sangat singkat ini dan aku bertekad untuk merubah segala sikap burukku selama ini. Aku ingin menjadi orang yang lebih berguna terlebih untuk kedua orangtuaku. Ya Allah tuntun aku agar dapat meluruskan niat baikku ini, aku mengharapkan keridhaanMu untuk mengistiqomahkan hatiku. Pak Iman sungguh memberikanku banyak pelajaran hidup untuk menggapai akhirat. 

Kini namanya slalu ku kenang dalam sejarah hidupku, kini Pak Iman tinggallah sebuah nama, beliau telah berpulang ke rumah Allah, rumah sesungguhnya yang ia nanti-nantikan sejak lama. Semoga beliau ditempatkan di tempat terbaik yaitu disisiMu  Ya Rabb dan semoga keinginan beliau dapat tercapai, pintanya pada Allah “Ya Allah ampunilah segala dosa umat Muslim dan kembalikanlah mereka pada tempat (Syurga) dari mana mereka berasal Amin.”
“Pak Iman inspirator sejati, bekerja dengan hati  dan hanya mengharap Ridho Ilahi”